Pengamat: Reforma Agraria Gagal Sejahterakan Masyarakat

YOGYAKARTA - Setelah 50 tahun lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang ditengarai sebagai tonggak reforma agraria di Indonesia, sampai saat ini belum banyak dampak yang dirasakan bagi kesejahteraan masyarakat. Justru belakangan ini kerap muncul kasus-kasus konflik pertanahan, seperti sengketa Mesuji dan kasus pertambangan di Bima yang merupakan dua di antara 163 kasus konflik agraria yang terjadi selama tahun 2011 lalu.

Pengamat sosiatri UGM, Drs. Djoko Suseno, S.U., menilai munculnya konflik pertanahan ini sebagai akibat reforma agraria yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena hanya dijadikan alat kekuasaan dan kepentingan rezim, kelompok, dan individu. “Terbukti dalam regulasi bidang ekonomi dan program-program yang dicanangkan pemeritah selama ini justru tidak mendukung tercapainya tujuan reformasi agraria, tetapi malah menjauhkan rakyat dari sektor agraris,” kata Suseno dalam Seminar Pembangunan, Reforma Agraria, dan Kesejahteraan, yang diselenggarakan oleh Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM, Kamis (8/3).

Lemahnya kepastian hukum atas tanah, menurut Suseno, menjadikan konflik agraria sering muncul. Konflik bukan karena tanah yang disengketakan tidak memiliki sertifikat, melainkan menunjukkan persoalan lain yang lebih kompleks, seperti adanya kepemilikan sertifikat ganda terkait dengan hak guna usaha, sengketa warisan, dan sengketa perdata.
Tidak hanya itu, adanya dualisme sumber hukum pertanahan, yakni hukum nasional UUPA dan hukum adat, mengakibatkan ketidakpengertian dalam setiap sengketa pertanahan yang melibatkan tanah adat atau hak ulayat. Kasus seperti ini muncul antara swasta yang menggunakan GHU atau HTI atau HPH yang dilindungi kekuasaan dan aturan pemerintah dengan suku-suku adat yang tinggal di hutan. “Dualisme hukum ini menciptakan batas-batas tanah yang tidak jelas atau berbeda dan masing-masing mengklain mereka paling benar,” ujarnya.

Untuk mengatasi berbagai persoalan pertanahan, Suseno berpendapat perlu ada kepastian hukum secara administratif tanpa disangkutkan dengan program pembangunan yang ujung-ujungnya dimanfaatkan negara dan swasta. Selain itu, dibutuhkan penataan kepemilikan tanah yang lebih lengkap, tidak lagi hanya sekadar mengatur ukuran batas dan ukuran luas.
Sementara itu, peneliti agraria UGM, Drs. Soetomo, M.Si., mengatakan kebijakan reforma agraria melalui UUPA dan revolusi hijau yang dilaksanakan sejak era 1960-an dinilai kurang berhasil mengatasi kemiskinan karena UUPA masih berhenti sebatas pada kebijakan di atas kertas. “Tidak ada usaha secara konsisten dan signifikan untuk mengimplementasikannya,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Share This Article :

0 komentar:

Terimakasih telah berkenan mengunjungi dan meninggalkan komentar di Blog ini. Setiap Saran & Kritik yang masuk akan kami jadikan sebagai bahan Evaluasi untuk perbaikan Blog ini.
CATATAN :
1. Untuk menyisipkan kode, gunakan tag <i rel="code">KODE ANDA DISINI...</i>
2. Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan tag <i rel="pre">KODE ANDA DISINI...</i>
3. Untuk menyisipkan gambar, gunakan tag <i rel="image">URL GAMBAR ANDA DISINI...</i>
4. Untuk menyisipkan catatan, gunakan tag <b rel="quote">CATATAN ANDA DISINI...</b>

NB: Jika anda ingin menyisipkan kode diatas silahkan gunakan tool konversi kode terlebih dahulu untuk menampilkan kode tersebut pada kolom komentar.
Jika anda ingin berkomentar "BIASA", abaikan no 1-4

Copyright © 2013 Warung Sehati - All Rights Reserved

Modified by Machmudan Lubis is proudly powered